
Film Gundala : Belajar Nilai Hidup dan Fenomena Sosial
“Saya belajar nilai hidup, kejujuran, respek terhadap orang lain dan diri sendiri dari film yang saya tonton,” begitulah ucapan Joko Anwar yang saya ambil dari program Q&A di Metro TV dengan tema Belaga “Hollywood”.
Sutradara yang biasa dipanggil Jokan itu menyebutkan film yang ia buat adalah reaksi terhadap fenomena sosial dan politik yang terjadi di lingkungannya. “Film itu tools kita untuk mengatakan sesuatu. Apakah berhasil, berhasil ini banyak ya, apakah namanya kriterianya berhasil secara estetika, teknis dan sebagainya. Dan itu adalah suatu pencapaian. Dan cara kita pencapaian itu berhasil atau enggak,” sebutnya lagi.
Film karya Jokan yang saat ini masih tayang di layar lebar ialah film Gundala. Ia disambut baik oleh masyarakat. Seminggu tayang, superhero lokal ini telah ditonton satu juta orang.
Kabar baiknya, film ini masuk daftar wajib tonton di Toronto International Film Festival (TIFF) 2019. Festival ini memiliki tiga kategori, Discovery, Documentary, Midnight Madness. Gundala sendiri masuk dalam kategori terakhir.
Sentuhan lokal di tangan Jokan ditampilkan dengan apik. Mulai dari setting yang dekat dengan konflik masyarakat, khususnya kalangan bawah. Lingkungan tempat tinggal di dekat pabrik, kehidupan di pelabuhan, serta pasar dengan pedagang dan premannya.
Setting tentu didukung dengan konflik lokal dari semua peran yang terlibat dalam film.
Orangtua Sancaka diperankan oleh Rio Dewanto. Ia bekerja sebagai buruh pabrik dan tinggal di lingkungan rumah petak dengan penerangan seadanya.
Suatu hari, Ia dan para buruh melakukan aksi demo kepada bos pabrik. Namun hanya dua orang yang diperbolehkan masuk. Konflik pun dimulai. Kedua rekannya yang dipercaya untuk menyampaikan aspirasi kepada bos pabrik, malah berkhianat.
Mereka berbohong tak pulang 2 hari setelah pertemuan tersebut, sehingga menimbulkan hoax bahwa mereka ditahan oleh orang pabrik. Nyatanya, malah bersembunyi di rumah masing-masing.
Kejadian seperti ini terjadi karena persoalan ekonomi, sehingga kita bisa ‘dibayar’ oleh siapa saja yang mempunyai cuan bahkan untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Apakah ini dibenarkan? Seberapa banyak uang yang kita dapat sehingga mampu berkhianat?
Mereka yang mempunyai uang bisa membayar petugas medis. Ini terjadi saat serum anti amoral akan dibagikan pada semua ibu hamil. Di keramaian para ibu hamil yang mengantri untuk disuntikkan serum tersebut, tiba-tiba tiga orang lelaki memberi tip pada petugas. Tujuannya agar istri mereka didahulukan untuk dilayani. Fenomena ini lumrah kita temui.
Ketakutan akan uang juga nampak pada peran wakil rakyat. Mereka ini tunduk pada yang punya ‘uang’. Posisi yang seharusnya diyakini oleh rakyat sebagai penyambung lidah kini sudah dianggap merperkaya diri sendiri.
Meski peran itu tidak ditujukan pada semua wakil rakyat, ibaratnya karena nila setitik rusak susu sebelanga.
Fenomena memalukan ini sebenarnya sudah sering dipublikasi media. Kabar terakhir, anggota dewan ini ramai-ramai melakukan korupsi.
Detik.com menyebutkan bahwa wakil rakyat kembali dijerat. Teranyar, tak hanya satu atau dua, tapi serombongan anggota DPRD Kota Malang ditetapkan KPK sebagai tersangka.
Kategori film yang bisa dinikmati ini beragam, selain nilai-nilai sosial yang bisa dijadikan pembelajaran estetika hingga bagian paling teknikal. Secara umum, ada yang memuji bagaimana film ini bisa di produksi hingga dinikmati oleh penontonnya. Manjadi gerbang utama munculnya superhero lokal produksi Bumilangit Cinematic Universe atau BCU.
Biasa gelagat netizen, respon negatif juga diberikan oleh mereka yang kurang puas.
Tentu ini bisa terjadi, jika ekspektasi penonton disandingkan dengan superhero luar seperti produksi Hollywood—produksi Marvel Cinematic Universe.
Sebagai film yang tergolong punya nafas baru, skeptisme dan pesimisme penonton jelas bakal ada. Namun, hal tersebut tidak mengurangi jumlah fans yang justru optimis dan menganggap Gundala layak jadi parameter selanjutnya.
Namun tentu kembali lagi kepada teman-teman, apakah sebagai penikmat, kita sudah memberikan apresiasi pada karya yang digarap dengan serius dan ‘nggak murah’ ini? Tentu saja proses film tersebut dikatakan bagus tidak jadi dalam satu malam ibarat membuat candi yang dititahkan oleh Roro Jongrang.
Film yang rilis pada 28 Agustus ini dibuka dengan kisah kesulitan yang dihadapi oleh Sancaka selama masa kecil dan masa mudanya. Dia kemudian tumbuh dengan apa yang diajarkan oleh almarhum ayahnya. “Jika orang lain menolak untuk memperjuangkan keadilan, itu tidak berarti kita harus seperti mereka.”
Sancaka hidup di jalanan sejak orang tuanya meninggalkannya. Menjalani kehidupan yang berat, ia memikirkan keselamatan sendiri untuk bertahan hidup.
Ketika keadaan kota makin buruk dan ketidakadilan berkecamuk di seluruh negara, Sancaka harus memutuskan, apakah dia terus hidup menjaga dirinya sendiri atau bangkit menjadi pahlawan bagi mereka yang tertindas.
Gundala diperkenalkan lewat seri komik Gundala Putra Petir karya Hasmi yang pertama kali rilis pada 1969. Ia diceritakan sebagai insinyur bernama Sancaka yang berambisi mencari serum anti petir.
Alih-alih menemukan serum, Sancaka malah tersambar petir hingga mempertemukan dirinya dengan Raja Petir Kronz. Kronz mengangkat Sancaka menjadi anaknya dan memberikan kalung ajaib yang dapat mengubah dirinya menjadi manusia super.
Dalam film yang berdurasi 2,5 jam ini, karakter Sancaka yang diperankan oleh Abimana Aryasatya bukanlah seorang insinyur. Ia diceritakan sebagai petugas keamanan di suatu tempat yang tersambar petir.
Jokan sebutkan, film Gundala tidak mendasarkan ke film Gundala Putra Petir yang dibuat pada 1981. Namun, film Gundala menggabungkan cerita komik dan catatan yang dibuat Hasmi. “Jadi, film dan komik saling melengkapi,” ujar Jokan usai pemutaran perdana Gundala di Epicentrum Walk Jakarta, Rabu 28 Agustus 2019.
Saran saya, film Gundala tetap perlu ditonton agar jadi saksi bagaimana film superhero lokal ini tumbuh. Bahkan setelah Gundala, akan ada film-film lain dari karakter yang ada di Jagat Sinema Bumilangit yang siap diproduksi serta dikenalkan kepada masyarakat. Untuk Jilid 1 ada Sri Asih, Godam & Tira, Si Buta Dari Gua Hantu, Patriot Taruna, Gundala Putra Petir, Mandala Golok Setan, dan Patriot.#
*Tulisan ini sudah terbit pertama kali di minda.id

