Diorama Tuanku Tambusai di Desa Talikumain
Riau

Melihat Kisah Perjuangan Tuanku Tambusai pada Diorama Benteng Tuanku Tambusai di Dalu-dalu dan Talikumain

Siapa yang tidak kenal Tuanku Tambusai? Sebagai perantau di Kota Melayu sejak sekolah dasar aku sudah sisuguhi sejarah tentang beliau. Beranjak pada sekolah menengah pada  pelajaran arab melayu yang menjelaskan tentang tokoh pejuang Riau salah satunya Tuanku Tambusai.

Bukan sekadar teori dikelas, kala itu aku berkesempatan ikut camping sekolah di Benteng 7 Lapis. Benteng yang dikenal sebagai benteng pertahanan rakyat Dalu-dalu, yang dipakai oleh Tuanku Tambusai dengan cara diperteguh untuk kebutuhan pertahanan perang. Penjelasan ini juga tercatat pada Diorama Benteng Tuanku Tambusai yang terletak di Dalu-dalu dan Talikumain.      

Menurut wikipedia Diorama adalah sejenis benda miniatur tiga dimensi untuk menggambarkan suatu pemandangan atau suatu adegan. Diorama pada masa modern digunakan untuk menggambarkan keadaan sesungguhnya dari lanskap keadaan sejarah, kejadian alam, dan keadaan kota untuk kebutuhan pendidikan atau pertunjukkan.

Silsilah Tuanku Tambusai, November 2022

Diorama Benteng Tuanku Tambusai menggambarkan perjuangan Tuanku Tambusai mengusir penjajah. Kedua diorama ini bentuknya sama, hanya berbeda pada perawatan dan pohon yang berada di depannnya. Tampak patung Tuanku Tambusai menunggangi kuda putih dan tangan kananya memegang pedang. Di sisi lain ditampilkan relief kehidupan nuansa tempo dulu, silsilah Tuanku Tambusai dan tulisan arab melayu di sudut kiri diorama.

Adapun jarak kedua diorama ialah sekitar 2 kilometer, yang pertama tepat di pertigaan Dalu-dalu dari arah Padang Lawas menuju Pasir Pangaraian. Berada tepat di tepi jalan sebelah kanan, berdekatan dengan rumah adat Dalu-dalu dan SMAN 3 Tambusai. Diorama kedua di Desa Talikumain, berada di tepi jalan tepat sebelah kanan.    

Saat berkunjung kesana, aku tertarik melihat bagian belakang. Ternyata bagian ini tampak kurang terawat, ada anak kayu mati disemprot setinggi lutut hingga pinggang orang dewasa dan. Disana ditampilkan potongan-potongan mulai dari kelahiran, masa kecil, menuntut ilmu hingga masa perjuangan.

Menurut hematku, seharusnya penjelasan itu dibuat terlihat dari depan agar memudahkan pengunjung, “oh ini ada penjelasan tentang perjuangan Tuanku Tambusai.” Pada kesempatan itu aku mencoba untuk menguraikan teks pada bagian belakang diorama untuk ditampilkan di blog.

Kelahiran

Tuanku Tambusai lahir malam Jumat 5 November 1784 di Ngoi Lamo Dalu-dalu. Sang bayi lahir ke dunia disertai suara dentum petir tunggal, angin ribut menderu, guruh mengalok, kilat sambar menyambar, namun seketika cuaca mereda saat azan dikumandang ke telinga kanan bayi mulia. Geloro alam sedemikian itu memang tiada dianggap terkait langsung sebab kelahirannya, namun bacaan atas isyarat pertanda tetap jua meniti perhatian di hati dan perasaan manusia.

Kelahiran anak jantan cucur zuriat seorang imam kerajaan dianggap istimewa sekaligus pembawa bahagia sukacita. Berita pun segera disampaikan kepada yang mulia penguasa negeri yakni Yang Dipertuan Besar Tambusai. Fakih Saleh kecil dipangku atas ribaan Permaisuri lalu meluncur ungkapan berisi doa yang berbunyi, “Berharap kita fajar yang lahir ini jadi matahari suluh pelita berani kan pelapis dada, cerdik kan penghubung lidah, kaya kan penudung malu, darah pahit lidah pun masin, berjalan lurus berkata benar, hidup berakal mati beriman.”

Masa Kecil

Maka si bayi diberi nama Muhammad Saleh, bermakna yang terpuji lagi taat mulia. Semenjak lahir tiada mengusung kecewa di hati siapa pun. Laku perangai seolah bagai ada yang mengampu serta menjaganya. Lisannya fasih fahamnya indah, bajik pengasih adalah baginya mudah. Siapa pun menaruh suka serta sayang, jadi buah bibir isi negeri kaum kerabat handai taulan.

Ajaran di rumah cukup, kasih dari ayah bunda pun penuh. Penyejuk hati si emas berkurung, setiap saat selalu dilindung. Kampong berseri, koto meneguh, negeri bercahaya alam pun teduh. Sesame sebaya pandai bermain, kepada yang tua tempatnya ingin, ilmu agama taman bermain, adat dipandangnya ibarat kain.

Hidup sepemakai hingga matinya pun sepembawa, Tuah badan telah nampak sejak semula. Muhammad Saleh kecil ibarat permata mutu maknikam berharga, karunia Tuhan Kaya kepada negeri Tambusai serata bangsa Melayu ini adanya.

Menuntut Ilmu

Waris ilmu dari ayahanda sudahlah nyata. Petunjuk pengajar orang tua-tua yang berakal berbudi beliau ikuti. Alquran dan Sunnah baginda Muhammad SAW jua yang dijadikan suluh pekerti.

Kaki dilangkahkan demi menuntut ilmu agama menuju sebalik Gunung Melintang Bukit Barisan. Kubung Dua Belas, Bonjol, dan Rao jadi tujuan. Para tuanku tebeban ilmu yang pulang dari Mekah menjadi guru dan panutan. Ajaran mereka yang keras dibiar lalu sedangkan ilmu berfaedah jua senantiasa ditiru.

Bukanlah mudah jadi ulama. Sukat tingkah laku ada dipandangan mata orang. Jihad fi sabillah tumbuh segara, dakwah ditunaikan tiada bimbang. Tanpa memilih muslim maupun kafir, meyerukan janji Allah Ta’ala tak berbatas akhir, hingga melacak jejak beliau sampai ke Tanah Batak yang masa itu masih menyembah berhala.

Budi dan jasa selalu nampak oleh orang, tentu beroleh hormat tiada kurang. Azam dan niat pantang beralih, patut tuanku bergelar fakih.   

Perjuangan 01

Perang padri (1821-1837) melawan kafir Belanda mendorong hati dan badan diri Fakih Muhammad Saleh untuk ikut serta. Jatuhlah takdir menjadi panglima perang termasyur lagi kenamaan. Berjihad bukan semata karena memerangi penjajah namun lebih pada tujuan meraih ampunan dan kasih sayang Allah.

1823, pangkalan Inggris di Natal terancam oleh serangan pasukan Tuanku Tambusai sehingga mereka meminta bantuan ke Bengala.

1830, kubu Rao dibangun dan dipertahankan oleh Tuanku Rao bersama Tuangku Tambusai.

1831, Letkol. Elout memohon bantuan Gubernur Jenderal karena merasa terdesak oleh pasukan Tuanku Tambusai dan serangan pasukan laut Aceh pimpinan Sidi Mara.

1932, Mayorvan Amerongen menyerang benteng Rao namun gagal. Pasukan tambahan dikirim dari Padang hingga akhirnya benteng direbut setelah perang selama 16 hari. Tuanku Rao menyingkir ke Air Bangis sedangkan Tuanku Tambusai mundur ke Mandailing Tapanuli. Benteng Rao diserang Pasukan Tuanku Tambusai, meski gagal namun menimbulkan banyak korban di pihak kafir. Sejak itu Tuanku Tambusai digelar Belanda De Padriesche Tijger van Rokan.

Perjuangan 02

Kekhawatiran pada pasukan tertangguh padri ini menyebabkan Belanda memohon bala tentara, persenjataan, dan logistik ke Batavia. Oktober 1832, Tuanku Tambusai menerima pesan tantangan dari Bevervoorda untuk bertemu Elout di Padang Matinggi. Tuanku Tambusai datang sorang diri dengan gagah berani memerintahkan kafir Belanda keluar dari tanah Jawi. Ketika Elout mengancam “Dimana kekuatan Belanda datang, di sana dibuat kuburannya”, dijawab Tuanku Tambusai “Sedialah bedil!”

1833, Mayor Eilers ditugaskan oleh Gubernur Jendral Batavia van Den Bosch untuk menyerang Tuanku Tambusai di benteng Rao. Hanya lingkungan benteng saja yang berhasil dikuasai Belanda sedangkan wilayah luar benteng masih dikuasai padri. Tuanku Rao ditawan Belanda namun berhasil diselamatkan oleh Tuanku Tambusai saat akan digantung. Lundar diserang dan seluruh pasukan Belanda tewas . Oktober 1833, Fort Amerongen yang diduduki Let. Rolan dan Let Dischoff menerima serangan bertubi-tubi dari Tuanku Tambusai, menyebabkan Mayor Eilers menyarankan penghematan logistik dan amunisi. Perang di Fort Amerongen berlangsung sejak Oktober hingga November 1833. Hasilnya Let. Popje dan Let. Roland menemui ajal. Markas Belanda di Lundar berhasil direbut. Sisa pasukan Kopral Fivelier mundur menuju Fort Amerongen namun sebagian besar personel tewas setelah mendapat serangan di tengah perjalanan. Jendral Riesz di Padang coba menggertak dengan pengiriman kapal De Vlieg yang berlabuh di Natal sambil membujuk rayu Tuanku Tambusai supaya berbaik hati melepaskan sisa pasukan di Fort Amerongen dengan selamat keluar dari benteng. Ketika itu Mayor Eilers di Fort Amerongen telah putus asa, menyangka bala bantuan dari Padang tidak kunjung tiba. Akhirnya memaksakan diri keluar dari benteng hingga mengalami nasib tragis di tangan pasukan Tuanku Tambusai.

Mei 1834, Let. Dresse menyatakan bahwa Tuanku Tambusai menggabungkan pasukan padri untuk serangan ke Air Bangis. Letkol. Beuwer berusaha mencegah namun tidak berhasil sehingga pasukan Belanda mengalami trauma psikis yang luar biasa. Juni 1834, Kapt. Von Beethoven berusaha berunding dengan Tuanku Tambusai yang duduk di Pionghai namun ditolak mentah-mentah oleh beliau.

Mei 1835, Beethoven berusaha menyerang benteng Balong, Kampung Lubuk, sedangkan Padang Matinggi berhasil diduduki Belanda. Juli 1835, Tuanku Tambusai aktif melakukan serangan dan penyergapan. Agustus 1835, dikirim berita dan Fort Sevenhoven bahwa seluruh rakyat Rao mendukung Tuanku Tambusai. Von Beethoven berhasil menahan serangan Tuanku Tambusai di kampung Langsong, Kota Raja dan Padang Matinggi tetapi tidak berhasil di Durian Tinggi.

Diorama Benteng Tuanku Tambusai di Dalu-dalu, November 2022

 1837, Belanda mengerahkan seluruh pasukan di Barat Sumatera untuk menyerang Simanabun sehingga Tuanku Tambusai menarik diri ke kubu Portibi. Kol. Michiels dan Beethoven berhasil menguasai Portibi, Tuanku Tambusai mundur ke Kota Pinang kemudian ke Dalu-dalu. Tuanku Tambusai bertahan di Kubu Aur Duri sambil membangun kubu Godong, kubu Baling-baling, kubu Goti, dan kubu Talikumain.

November 1837 Gubernur militer Kol. Michiels minta bantuan 4 kompi pasukan batalion ke-6 ditambah gabungan pasukan pengkhianat pribumi. Mayor Beethoven dengan 1500 personel bergerak dari Lubuk Sikaping menuju Angkola Jae sedangkan Mayer Westerberg bersama dua kompi dan gabungan pengkhianat bangsa menyerang Portibi dan Padang Lawas.

Januari – November 1838, seluruh pasukan gabungan diperintahkan oleh Kol. Michiels menyerang Dalu-dalu sambil mengantur siasat bertahan di Kampung Raja Mondang. Serangan terus dilancarkan namun tidak berjaya mendekati Dalu-dalu. Akhirnya 28 Desember 1838 Belanda menembus kubu Aur Duri setelah mengalami kerugian besar. Mayor Beethoven dan Kapt. Schaen mati sedangkan Mayor Westenberg dan Mayor Hoevel luka. Diperlukan 14 bulan untuk menduduki kubu Aur Duri.

Tuanku Tambusai tiada tertaklukkan sebagaimana kafir Belanda menjebak Pangeran Diponegoro (1830)  dan Tuanku Imam Bonjol menjadi tawanan (1837). Tuanku Tambusai ditakuti oleh Belanda dan para pengkhianat karena beliau sengaja meninggalkan kampung hanya demi panggilan jihad melawan kafir penjajah. Beliau meneruskan perjuangan sampai akhir hayatnya. Tak sudi ditipu dan pantang menyerah.

Setelah menyingkir dari kubu Aur Duri beliau meneruskan perjuangannya ke negeri lain. Terakhir mastautin (domisili) di kampung Rasah (1840), Seremban, Negeri Sembilan dan wafat di sana 12 November 1882.

Benteng Aur Duri

Menurut E.B. Kielstra, benteng Daludalu adalah kubu yang teratur bahkan yang terbaik pernah dijumpai dan dimiliki orang Indonesia pada zaman waktu itu. Bentuk fisik kubu Aur Duri dijelaskan oleh W.H. M Schadee;

  1. Luas lebih kurang 200 meter tiap sisi
  2. Dikelilingi dengan parit-parit berair
  3. Dilapisi pula satu persatu dengan kubu-kubu kecil dilengkapi bedil dan lubang kumbang
  4. Aur Duri tumbuh di sekeliling
  5. Diselang-seling dengan traverzen (titian pintas)
  6. Terdapat rumah-rumah jaga
  7. Bagian belakang benteng terhubung langsung dengan sungai Batang Sosah
  8. Wilayah sekitarnya berhutan lebat sehingga sulit didekati
  9. Benteng dipertahankan dengan 300 pucuk bedil, 14 lela, 500 pound amunisi, dan berlimpah persediaan beras.

Kubu Aur Duri adalah koto negeri yang dipakai oleh Tuanku Tambusai dengan cara diperteguh untuk kebutuhan pertahanan perang.

Sekian penjelasannya tanpa mengurangi makna dari tulisan yang tertera di diorama Benteng Tuanku Tambusai. Jika dibaca sekilas beberapa kata agak sulit dipahami dan harus dibaca secara perlahan. Semoga terbantu bagi kamu yang ingin tahu sejarah singkat Tuanku Tambusai.#  

Satu Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *