christmas
Jendela

Natal itu Kabar Gembira atau Beban?

Desember tiba, natal tlah tiba. Bagi saya ini, bulan ini menjadi spesial karena adanya perayaan agama kristen yaitu natal. Jika melihat kembali memori saat kecil atau sekolah dasar. Di gereja disebut kategori sekolah minggu. Masa itu, kenangan yang sudah ada puluhan tahun lalu yang terpendam dalam benak hingga saat ini. Saya ingat sekali momen itu, orangtua saya tidak pernah lupa untuk mendandani saya setiap natal. Saya pernah pakai baju kembang, kaos kaki berenda dan lengkap dengan jepitan yang ada bonekanya—jepitan rambut pink dengan tali yang menjuntai sepanjang jengkal anak kecil. Saya senang bukan karena hanya dipasang semua kustom itu, tapi yang lebih penting bisa maju dan tampil di panggung. Biasanya saya ikutan untuk liturgi—membacakan ayat Alkitab secara bergantian, deklamasi dan tari-tarian.

Itu ingatan saya tentang natal saat kecil. Sekarang tentu ada yang bertambah atau berubah lagi maknanya. Satu hal yang saya ingat ialah natal itu sukacita karena lahirnya Tuhan Yesus sebagai Juruselamat dunia. Kabar gembira yang harus disebarkan pada seluruh umat manusia diseluruh dunia. Oh iya, kalimat ini sering terdengar bagi umat kristen karena mirip potongan lirik lagu natal.

Namun, sayangnya kabar gembira ini kini serta merta telah jadi beban. Banyak keluh-kesah menyambut natal. Bukan keluhan karena kelahirannya, tapi lebih ke persiapan penyambutan. Karena, setiap natal sebagian orang akan terbebani banyaknya biaya perintilan natal.

Mari kita lihat perintilan natal yang sering dibeli oleh mamak-mamak. Satu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan tiga orang anak. Orangtua kita anggap tidak ada pengeluaran. Perintilan anak itu seperti kemeja dan celana untuk anak laki-laki. Gaun bagi anak perempuan. Sepatu, kaos kaki, bando atau jepitan. Atau bahkan ada aksesoris lainnya. Akan bertambah jika orangtua membuat seragam, misalnya seragam khusus arisan A, atau gabungan koor ina (ibu-ibu) kamis atau grup lainnya. Terakhir, bayar biaya tambahan untuk acara natal di gereja. Jangan lupa hitung di kalkulator masing-masing ya!

Bayangkan, berapa banyak pengeluaran dari keluarga tersebut. Saya disini bukan menjelaskan betapa tidak bersyukurnya mereka. Tapi, ada satu budaya turun temurun ntah sejak dari zaman kapan selalu berulang. Seolah-olah natal itu acara seremonial dengan baju baru, sepatu baru. Semuanya ingin baru. Untung-untung tidak ganti suami atau istri baru.

Keluhan tentang pengeluaran ini sering terdengar menjelang natal. Kejadian serupa terjadi ditempat saya bekerja. Meski posisi saya saat ini hanya menjadi pendengar keluhan. Saat itu, kondisinya seolah curhat yang terselubung, dia menyebutkan akhir tahun ini banyak sekali pengeluaran. “Banyak pengeluaran akhir tahun ini, belum lagi uang natal anak,” sahutnya. Dengan santai aku bertanya, “anak kakak berapa?” Langsung dijawabnya, tiga orang. Kutimpali lagi, itu belum baju natal ya kak. “Iya,” sebutnya.

Seketika kondisi ruangan penuh tawa.

Curcol beginian sering saya dengar menjelang akhir tahun. Banyak mamak-mamak mengeluhkan pengeluaran natal untuk anak. “Baru gajian udah habis untuk beli baju anak. tunjangan hari raya belum cair.” Kalimat yang serupa akan terdengar jika nimbrung pada pergosipan mamak-mamak.

Bayangkan, jika orangtua mampu tentu akan memenuhi keinginan untuk berbaju baru. Bagaimana jika tidak mampu? Atau, barangkali ada pengeluaran-pengeluaran yang lebih urgen?

Secara tidak langsung, ada budaya yang menjadikan natal menjadi momen belanja. Jadilah manusia yang konsumtif dengan serangan harga diri. Dari setiap obrolan mamak-mamak pasti sebutkan, baju anakku harganya 200 ribu, lalu satu lagi menimpali baju anakku itu 300 ribu. Siapa yang tahu, dalam dunia pergosipan begini masih ada kesan pamer harga baju.  

Saya bukan tidak suka dengan natal. Malah saya menikmati natal setiap tahunnya. Maklum, saya sebagai capricorn girls natal juga menjadi hal yang ditunggu setiap tahunnya. Setelah saya merantau, sudah terbiasa merayakan malam natal sendiri tanpa baju baru. Mungkin, untuk mengakalinya ialah dengan membeli baju saat natal. Manariknya, baju yang saya beli itu bisa digunakan untuk kebaktian minggu biasanya. Jadi bulan-bulan lainnya tidak usah membeli baju baru. Cukup di Desember saja, biar kerasa baju barunya. Ini kalo maksa ingin baju baru ya.

Saya tidak tahu detail perintilan pengeluaran dari masing-masing orang untuk persiapan natal. Tapi saya lebih suka dengan konsep natal sebagai kabar gembira selalu hadir bagi setiap orang. Saya ingat sekali, ada pendeta yang menyebutkan banyak cara untuk merayakan natal. Tidak hanya perayaan dengan ibadah dan melakukan acara seremonial. Contohnya, kita bisa merayakan dengan anak-anak panti asuhan. Berbagi dengan anak-anak yang kurang mampu. Coba lihat itu rak baju kalian, sudah banyak baju yang tidak dipakai? Bagikan untuk mereka yang membutuhkan.

Saya rasa berbagi juga tidak mengubah makna natal. Karena kabar gembira itu artinya saya gembira maka sekeliling harus merasakan kegembiraan yang sama.#

*Tulisan ini sudah terbit pertama kali di minda.id

2 Komentar

  • Marselino

    Natal selalu istimewah.Dimasa kecil saya tepatnya di Bajawa NTT natal menjadi sangat berkesan.Saling mengunjungi utk berbagi ucapan sangat berkesan.Saat ini terasa suasana sana itu mulai pudar.Ucapan natal hanya datang lewat sms atau media sosial.

    Admin
    Biropesona,blogspot,com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *